Rabu, 14 April 2010

15 Menit Antara Gerbang Kematian

Gerbang pemakaman seakan sadarkan aku dari
dua kehidupan. Aku ada di ambang batas anatara kehidupan dan kematian. Ketika
aku langkahkan kaki, duniawi seolah tersedot habis yang hanya menyisakan sisi
religi.

Gerbang pemakaman seakan sadarkan aku dari
dua kehidupan. Aku ada di ambang batas anatara kehidupan dan kematian. Ketika
aku langkahkan kaki, duniawi seolah tersedot habis yang hanya menyisakan sisi
religi.
Tanah
merah membentang menambah terik siangku yang membara. Entah makhluk apa itu
berlalu lalang tanpa tahu rambu dunia. Kehilangan anak, kehilangan orang tua,
kehilangan orang terkasih maupun dibenci ada di sini. Bahkan banyak pula yang
kehilangan harga dan jati diri. Pemakaman ini seolah jalan akhir bagi mereka
yang tak bertuan di tanah kelahiran. Pemakaman seolah menggoda dengan segala
kedamaiannya dari hiruk pikuk dunia yang memekakkan.
Aku memandang hamparan nisan bernama yang
dulu bernyawa, memanggil-manggilku dalam bawah sadar. Dalam ghaib mereka
memanggil-manggil namaku, namun logika menutup rapat telingaku. Sepasang tua
renta terduduk hening di sisi sebuah nisan. ”Ramilah binti Sudarman” tertera di
sana. Lahir pada 19 September 1986 dan wafat pada 20 Agustus 2002. alangkah
belianya si Ramilah itu. Jalan hidup yang masih panjang dan berliku harus
terhenti karena panggilan yang tak mau dipungkiri. Betapa beruntungnya diriku
ini, telah menjajaki manis pahit dunia ini dalam 19 tahun bersemi.
Aku lihat di sisi kiri, 2 orang pemuda
tengah menggali lapak bagi ”pendatang baru”. Mereka mencangkul tanpa henti,
yang diiringi tawa dan komunikasi. Ironis memang. Bercanda dalam kondisi sedang
menyiapkan lahan untuk jenazah, tanpa tahu kapan mereka akan menempatinya pula.
Kini kulihat sisi kananku. Banyak penjaga
makanan dan minuman. Banyak pula yang makan, minum, atau sekedar bertukar
pikiran. Tentang apa? Religi, ilusi, bahkan demokrasi. Apa saja! Ajang kenalan?
Mengapa tidak! Kugeser pandanganku sedikit lagi, akhirnya kulihat juga yang
berwarna-warni. Terhampar bunga-bunga nan wangi serta air bersari. Hanya inilah
dekorasi bagi sang mati. Hanya dekorasi fisik tanpa arti, karena dekorasi yang
sesungguhnya adalah dari hati nurani.
Aku kini melihat ke segala sisi. Dari
depan, kanan, dan kiri. Ternyata pemakaman ini memiliki dunia sendiri. Tempat
di mana, entah kapan nanti, aku akan sendiri. Berjuang dan menunggu seorang
diri. Kupikir aku sekarang butuh introspeksi untuk dosa yang rutin kujalani.
Alangkah indahnya suatu hari nanti bila aku dapat dengan tenang dan damai,
memiliki peristirahatan terakhir, mengasing dari dunia yang hingar bingar ini.
Alangkah indah duniaku dalam sepi, yang hanya menunggu Ilahi.
Aku kini beranjak pada sisi belakangku,
akan kehidupan duniawi yang kutinggalkan sementara waktu. Rasanya rindu sekali
aku pada dunia nyataku itu. Namun aku ingin kembali dengan jiwa yang baru.
Tuhan, izinkanlah aku untuk menapaki
kembali kehidupan sadarku. Tuhan , terimalah terima kasihku, telah izinkan aku
berada di batas dunia, untuk menyadarkan aku pada semua hina-dinaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar